Stadium Selfies!

Selfie.

Itulah kata terpopuler di tahun 2013 (katanya sih). Di tahun 2014, selfie semakin menjadi gaya hidup tak terpisahkan, terutama setelah presiden Amerika Serikat, Barack Obama, pun melakukannya. Lalu, di acara penganugerahan Oscar yang bergengsi itu, sang MC Ellen de Generes mengajak beberapa seleb kelas dunia untuk berfoto selfie. Ia kemudian mengunggahnya di Twitter sehingga membuat website sempat down. The selfie that crashed Twitter.

Tidak saya sangka sebelumnya, ternyata selama ini banyak koleksi foto yang saya ambil secara selfie. Bukan karena ingin gaya-gayaan, tapi, ehm… karena saya memang sering traveling sendirian. Kalau dijumlahkan, mungkin foto-foto ‘selfie akibat situasi’ saya berjumlah ratusan.

Maka, ini sebagian foto-foto selfie yang saya ambil di beberapa stadion di Eropa:

1. Sesuai dengan judul blog ini, kita mulai dari Swiss dulu deh yaa. Ini saya ambil di FIFA Headquarter di Zurich. Saya dan replika trofi Piala Dunia.

IMG_1602

Foto diambil di lobi gedung markas FIFA di Zurich

2. Lalu ketika final Schweizer Pokal (Piala Swiss) –Awal Juni 2013– antara FC Basel melawan Grasshopper Zurich. Saya bergabung dengan para suporter Grasshopper 😀

IMG_1564

Tribun Selatan Stade de Suisse, Bern. Grasshopper menang adu penalti, by the way

3. Friendly match antara FC Basel melawan Borussia Dortmund. Kali ini selfie bertiga sama teman-teman.

IMG_2602

Ini di St. Jakob Park, Basel. Yang di kanan namanya Didik, yang di kiri Yovin

4. Nyeberang dikit ke Austria. Saat itu saya menonton kualifikasi Piala Dunia antara Austria vs Swedia.

IMG_2081 - Copy

Austria menang 2-1 atas Swedia, in case you ask

IMG_2139

Ini sebenernya senyuman pahit karena nggak dapat tempat duduk :p

IMG_2077 - Copy

Stadion Ernst Happel di Vienna, Austria. Ah, you can read it yourself there 😀

5. Lalu ke Stadion San Siro di Milan, Italia. Markasnya AC Milan dan Inter Milan!

IMG_1677

sayang banget karena pas ke sini, musim kompetisi lagi libur

Bonus deh, selfie di lokasi terpopuler dunia 😀

editss

P.S: Pengen banget bisa ke Eropa lagi dan mengulang momen-momen ini. Dear Heineken, please take me to Ibiza so I can make more memorable selfies! 😀

 

My Swiss Memorabilia

Dulu, saya tidak pernah tertarik mengumpulkan barang-barang koleksi. Teman-teman saya banyak yang hobi mengumpulkan action figure, sepatu atau topi. Saya dulu paling banter ngumpulin buku komik atau novel. Namun, sejak bersentuhan langsung dengan sepak bola Eropa selama tinggal di Swiss pada tahun 2011-2013, saya sedikit berubah.

Saya jadi senang mengoleksi jersey bola. Sebenarnya kegemaran ini sudah tidak spesial, karena ada ribuan pengoleksi jersey sepak bola di Indonesia. Cuma, beberapa jersey yang saya koleksi terasa spesial karena berkaitan langsung dengan pengalaman pribadi saya menonton sepak bola di Swiss.

jerseys

Oke, jersey asli pertama yang saya beli selama tinggal di Eropa adalah jersey Barcelona hitam yang menjadi kostum ketiga mereka pada musim kompetisi 2011-2012. Namun, jersey pertama yang terasa spesial bagi saya adalah jersey BSC Young Boys musim kompetisi 2009-2010 berwarna putih yang saya pesan dari situs penjual jersey bargain, yaitu Classic Football Shirt.

Jersey away Young Boys ini sengaja saya pesan karena dua alasan. Yang pertama karena Young Boys adalah klub kebanggaan kota Bern, kota tempat tinggal saya selama dua tahun di Swiss. Klub ibu kota ini memang jarang terdengar namanya, karena mereka sudah lebih 25 tahun tidak pernah merebut gelar apa pun, baik di kompetisi domestik maupun antar Negara (25 tahun, FTW!). Alasan kedua adalah karena perusahaan yang menjadi sponsor utamanya yang terpasang di bagian depan jersey adalah ‘Westside’, yaitu developer sebuah shopping mall di kota Bern. Nah, selama dua tahun saya tinggal dekat sekali dengan mal Westside, jadi jersey ini sengaja saya beli untuk menjadi memento buat saya.

Yang kedua adalah jersey tim nasional Swiss. Yes, jersey ini juga saya beli dengan harga bargain di website Sports Direct. Saya cukup bangga memiliki jersey utama tim nasional Swiss bermerk Puma ini, mengingat selama tinggal di Negara yang terletak di kaki pegunungan Alpen tersebut, tidak terhitung berapa kali saya menonton langsung timnas Swiss bertanding di stadion. Lebih spesial lagi karena Die Nati akan berlaga di Piala Dunia Brasil 2014. Jadi, meski saya hanya akan menjadi penonton layar kaca, saya tetap punya tim nasional untuk didukung. Plus dengan mengenakan baju kebesaran mereka, hehehe.

Yang ketiga adalah jersey yang lumayan langka, yaitu FC Sion. Klub yang juga jarang kedengaran namanya ini berasal dari Kanton (provinsi) Valais di dataran tinggi berbahasa Prancis negara tersebut. Saya sengaja mengejar jersey ini karena pada musim 2012-2013, FC Sion dibela oleh salah satu pemain high-profile asal Italia, yaitu Gennaro Gattuso. Pemain berjuluk ‘Rhino’ alias Si Badak ini menjabat sebagai kapten, bahkan juga sebagai pemain merangkap pelatih Sion. Pengorbanan mengejar jersey ini cukup membuat sesak napas, karena saya harus mengeluarkan kocek lebih dari 90 CHF (dengan kurs Rupiah sekarang, mungkin sekitar Rp 1,2 juta) demi membeli jersey berwarna merah dengan cross putih laksana bendera Swiss plus nama dan nomor punggung Gattuso. Meski demikian, it was worth to buy karena jersey ini lambat laun menjadi langka setelah Gattuso pindah dari klub yang sekarang terancam degradasi ini.

Terakhir adalah jersey yang saya idam-idamkan sejak lama, yaitu jersey FC Basel untuk musim kompetisi 2012-2013. Jersey ini terasa istimewa karena selama mengidamkannya, saya hanya bisa menggigit jari karena setelah didiskon pun jersey ini masih tergolong mahal (sekitar 95 CHF). Beruntung, teman saya menemukannya di website Classic Football Shirt dengan harga bargain, sehingga salah satu lembar jersey ini menjadi milik saya. Bukan tanpa alasan saya ngebet ingin memiliki jersey ini. FC Basel, seperti kita ketahui bersama, merupakan klub Swiss dengan sejarah yang sangat panjang, bahkan masih berkaitan sejarah karena dikenal sebagai cikal bakal FC Barcelona. Selain itu, musim 2013-2013 FC Basel mencetak sejarah prestasi tertinggi mereka di kompetisi antarklub Eropa dengan menjadi semifinalis Liga Europa. Maka, memiliki kostum home mereka untuk musim tersebut sudah menjadi harga mati bagi saya.

Begitulah. All these jersey has its own story to me. Every time I miss Switzerland, I just need to open my wardrobe and touch these jerseys. The sentiments will then take me back into those Swiss football days that I will remember with a big smile on my face.

Dreaming Can Take You to the Football Hype in Ibiza!

“I breathe football, I eat football, I live football

I’m not mad, I’m just passionate” – Thierry Henry

Saya sudah menyukai sepak bola sejak kecil, baik memainkannya maupun menonton bersama teman-teman. Namun, seringkali pula orangtua dan guru-guru saya memberi saran yang meremehkan permainan ini. ‘Tidak ada gunanya sepak bola itu. Buang-buang waktu saja. Mending kau belajar baik-baik biar dapat kerjaan bagus, sana!’

Namun seiring perjalanan hidup saya, semakin saya tahu bahwa perkataan itu salah. Pada tahun 2011, hidup saya berubah ketika saya berkesempatan kuliah Master selama dua tahun di Swiss. Jika ditanya apa kuncinya saya bisa meraih kesempatan langka itu, saya hanya akan menjawab santai, ‘Football takes me here’.

Yap, mungkin bagi banyak orang ini sepele, tapi saya jadi ‘mengenal dunia’ lewat sepak bola. Saya jadi tahu nama berbagai kota di Jerman, Prancis, dan Italia hanya dengan mengikuti sepak terjang klub-klub sepak bola. Misalnya, saya jadi tahu kota bernama Milan terkenal dengan fashion-nya, hanya dengan membaca berita-berita tentang klub AC Milan dan Inter Milan di surat kabar atau majalah. Begitu pula dengan Swiss. Saya jadi penasaran ingin pergi dan tinggal di Swiss setelah mengetahui bahwa markas federasi sepak bola dunia (FIFA) dan Eropa (UEFA) berada di negara ini. Rasa penasaran mendatangkan hasrat yang semakin besar, sampai pada akhirnya bermuara pada usaha-usaha nyata saya untuk mencapai impian saya sejak kecil. After that, the rest is history. Saya tinggal selama dua tahun di Swiss, menonton puluhan pertandingan sepak bola dan sekarang sudah pulang lagi ke Indonesia membawa gelar kuliah.

Nah, makanya saya ingin membagi passion yang sama dengan menyebarluaskan info tentang event yang diadakan oleh Heineken Indonesia ini. This is a fun competition which can take you to a big prize: watching European Champions League Final in Ibiza, Spain!

Caranya:

Klik saja aplikasinya di http://apps.heineken-roadtoibiza.com/ Jangan lupa untuk memasukkan suatu kode tertentu yang bisa diperoleh di beberapa website atau blog, juga di berbagai gerai outlet Heineken, seperti di 7-11 atau Circle K. Follow juga akun Twitter Heineken Indonesia (@HeinekenID)!

Lalu, kalian bisa melihat keseruan event tahun lalu di video ini:

Silakan banget jika ingin berpartisipasi! Who knows you can live up the dream, because I just had a life-changing two years by believing in mine. And this dream…is merely triggered by my passion for football.

So, if Thierry Henry says: I breathe football, I eat football, I live football… Maybe we should add… I drink football, too.

A courtesy of Heineken, hehehe.

Die Nati are off to Brazil!

Through the 2-1 victory against Albania in Tirana, the Swiss national team secured their place in the next year’s World Cup in Brazil, thanks to the goals by Xherdan Shaqiri and the newcomer Michael Lang.

The Swiss are about to experience their tenth World Cup ever, and so far, under the direction of cold-handed coach Ottmar Hitzfeld, they are among the strong contenders. Maybe not among the candidates for winning the trophy, but they are tipped as a team that can overthrow the odds, just like what they did to Spain in 2010. Let’s take a look at their surprise victory against the Spanish in the video below:

Until now, the Swiss are known as a record holder for the longest non-conceded team in the World Cup campaign. A record that they have bee holding from 2006. Let’s wait for their further Swiss surprises!

2009202_w2

 

Inside Swiss Stadiums: Stade de Suisse (Bern)

Lokasi yang paling sering saya kunjungi adalah Stade de Suisse di kota Bern. Karena saya memang tinggal di ibukota Swiss tersebut, saya jadi sering berkunjung ke daerah sekitar stadion bukan hanya untuk menonton bola. Bangunan stadion Stade de Suisse terhubung dengan sebuah shopping mall yang tidak lain merupakan ekspansi bisnis dari sang pengelola stadion. Jadi, tidak aneh jika sambil menunggu pertandingan sepakbola, para penonton lebih dulu bersantai di berbagai kedai kopi di mal tersebut.

Stade de Suisse juga merupakan rumah dari klub lokal bernama BSC Young Boys. Saya pun beberapa kali datang ke stadion untuk mendukung klub tersebut dalam sepak terjangnya di Superliga Swiss, termasuk laga Europa League melawan Liverpool beberapa waktu lalu. Stadion berkapasitas 32.000 penonton ini juga selalu terbilang penuh, meskipun Young Boys belum pernah lagi menjuarai Superliga Swiss selama 26 tahun terakhir. Segala fasilitas stadion pun terbilang bintang lima, lengkap dengan screen besar di dua sisi lapangan dan beberapa bagian tribun penonton yang dilengkapi penghangat untuk menangkal udara dingin.

IMG-20120920-02112

Di stadion ini pula saya untuk pertama kalinya menyaksikan langsung kehebatan sang fenomena Lionel Messi ketika Swiss menjamu Argentina dalam partai persahabatan yang dimenangkan Argentina 3-1 di bulan Februari 2012. Selain itu, saya beruntung bisa menyaksikan laga ujicoba Spanyol melawan Korea Selatan di stadion ini, sebelum mereka menjuarai Euro 2012.

Semua kemewahan stadion penyelenggara pertandingan sepakbola di atas tentunya membuat penggila bola di Swiss setia menjadi bagian dari bisnis olahraga. Ditambah dengan kebijakan-kebijakan yang mengutamakan kenyamanan penonton seperti peraturan family zone dan non-smoking tribune, pertandingan sepakbola menjelma menjadi sebuah pengalaman menarik yang dapat dinikmati langsung oleh semua kalangan.

FC Basel: Now You Know Their Name!

Sudah saatnya kita berhenti menganggap FC Basel sebagai tim kacangan atau pelengkap di kompetisi Eropa. Meminjam istilah salah satu website sepakbola di Indonesia, saatnya kita diberi stempel ‘Jongos Bola’ jika kedapatan mengolok-olok Basel sebagai tim medioker.

Kemenangan atas Chelsea di Liga Champions pada 18 September 2013 adalah buktinya. Gol Muhammad Salah dan pemain veteran Marco Streller menghapus keunggulan Chelsea lewat gol Oscar. Ini adalah kejutan ketiga FC Basel dalam tiga musim berturut-turut. Bagi yang lupa, silakan lihat kembali kemenangan mengejutkan die Rotblau melawan Manchester United di pertandingan akhir Liga Champions 2011-2012 dan perjuangan dramatis mereka menyingkirkan Tottenham Hotspur lewat adu penalti di Europa League tahun lalu.

FC Basel adalah klub terkaya di Swiss, dengan mayoritas saham dimiliki oleh perusahaan farmasi dunia Novartis. Mereka sudah memenangi 16 kali Liga Super Swiss, dengan lima kali juara berturut-turut sejak tahun 2008. Mungkin, salah satu kesialan mereka hanyalah tergabung di Liga Swiss yang notabene terbilang obscure dan berperingkat jauh di bawah liga-liga bergengsi Eropa. Tidak heran jika sejak dulu, ada usulan iseng yang menginginkan klub kebanggaan kota Basel ini bergabung dengan Bundesliga Jerman.

FC Basel memang sepertinya terlahir untuk menjadi momok menakutkan bagi klub-klub Liga Inggris. Mereka sudah lebih dulu membuat kejutan di Liga Champions pada musim 2002-2003 dengan Liverpool sebagai korban. Saat itu, dengan dikapteni pelatih mereka sekarang, yaitu Murat Yakin, Basel lolos ke fase grup putaran kedua. Saat itu, mereka mencetak sejarah dengan menduduki posisi ke-dua di bawah Valencia, dan unggul satu poin dari Liverpool. Pertandingan terakhir yang mempertemukan mereka dengan wakil Inggris itu pun mereka lalui secara berkelas. Mereka sempat unggul 3-0, sebelum disamakan oleh Michael Owen dan kawan-kawan menjadi 3-3.

Bagi yang saat itu belum paham bola atau sedang ingin bernostalgia mengingat match bersejarah tersebut, ini dia highlightnya:

Basel pun lolos ke fase grup ke-dua (saat itu masih memakai sistem lama) dan tergabung di grup yang sama dengan Manchester United, Deportivo La Coruna dan Juventus. Sayang, kejutan mereka berakhir di situ.

Setelah wara-wiri beberapa musim di Piala UEFA alias Europa League, FC Basel baru muncul lagi ke permukaan Liga Champions di musim kompetisi 2008-2009, ketika mereka tergabung di grup yang sama dengan Barcelona, Shakhtar Donetsk dan Sporting Lisbon. Mereka memang gagal total, namun sempat memberi kejutan kecil ketika menahan imbang Barca di Camp Nou dengan skor 1-1.

Banyak juga yang tidak memperhatikan, bahwa FC Basel merupakan penghasil pemain-pemain hebat. Tercatat, nama-nama seperti Alex Frei, Ivan Rakitic, Patrick Muller, hingga Xherdan Shaqiri dan Granit Xhaka adalah binaan mereka.

Sekarang, FC Basel sudah mengukuhkan diri menjadi tim kuda hitam yang layak diperhitungkan di berbagai ajang kompetisi Eropa. Menarik kita tunggu kejutan apa lagi yang akan mereka tampilkan setelah ini. FC Basel sekarang sudah menjadi topik yang seksi.

*fun fact: FC Basel adalah klub sepakbola favorit petenis dunia asal Swiss, Roger Federer

Untitled

Player to Watch: Mohamed Salah

The Egyptian Mohamed Salah is like a gift from heaven for the Swiss Super League holding champion, FC Basel. Played for an obscure club in his country, Al Mokawloon, until 2012, he was brought to Switzerland in summer 2012 to sign his contract with FC Basel. Since then, the 21-year old Egypt international is an indispensable player for Die Rotblau. His most famous contributions were his goals that took FC Basel into a new history, playing at Europa League 2012-2013 Semi-Final.

Here are some of The Pharaoh’s actions:

A Japanese Star Is Born in Bern

Yuya Kubo.

Remember the name! That’s a player whom people will talk about in the next few years. The 19-year old Japanese had already made flying starts in Swiss Super League with his current club, BSC Young Boys.

Brought to Switzerland as a bright-prospected youngster, the former Kyoto Purple Sanga striker stunned the public of Stade de Suisse de Suisse by his inspiring performance against FC Thun. His 2 goals and one assist overturned the score for Young Boys, from 0-2 behind into a 3-2 victory that put the Bernese on top of the league table for several weeks.

You can watch the iconic Kubo’s performance here:

 

FC Basel Did It Again!

A season after their mesmerizing victory against Manchester United in the Champions League 2011-2012, FC Basel wrote a new history for Swiss football. This time, they made it into the semi-final of Europa League after winning a thrilling penalty shoot-out against another English side, Tottenham Hotspur.

The Swiss champion showed a good fight against relentless North London side. The second 2-2 score took the game to penalty shoot-out where only one Tottenham player converted the penalty.

Untitled2

Match highlight:

Untitled

 

My writing on http://www.bolatotal.com about the same matter (in Indonesian:)

FC Basel melakukannya lagi! Setelah tahun lalu membuat kejutan dengan menyingkirkan Manchester United dari Liga Champions, kali ini mereka menembus semi-final Liga Europa setelah menendang Tottenham Hotspur. Bagaimanapun hasil melawan Chelsea di empat besar nanti, klub Swiss yang merupakan ‘nenek moyang’ FC Barcelona ini sudah membuat sejarah baru.

Saya sendiri, karena tinggal di Swiss selama dua tahun terakhir, sudah mengalami kedua euforia FC Basel yang disebutkan di atas. Sebagai penggila bola yang (kadang terpaksa) mengikuti Liga Swiss, saya sudah sering melihat betapa kedigdayaan Die Rotblau di liga domestik sangatlah susah ditaklukkan oleh klub-klub saingannya yang lain. Dalam sepuluh tahun terakhir, FCB menjadi juara sebanyak enam kali, termasuk hat-trick dari tahun 2010 sampai 2012 lalu.

Memang, terkadang untuk memanaskan suasana, media Swiss menyebutkan beberapa tim yang menjadi rival FC Basel, di antaranya dua klub Zurich, Grasshopper dan FC Zurich. Namun, bagaimanapun juga, kekuatan finansial, tradisi klub dan pembinaan pemain muda FCB adalah yang terbaik di negaranya Roger Federer tersebut. Terbukti, meskipun dalam dua tahun terakhir mengalami dua kali pergantian pelatih, Marco Streller dan kawan-kawan tetap stabil. Di awal Liga Super Swiss musim ini, meskipun sempat tertinggal jauh dari Grasshopper, anak-anak asuhan Murat Yakin berhasil mengejar. Sekarang, dengan liga menyisakan sekitar sepuluh pertandingan lagi, mereka sudah kembali ke puncak klasemen.

Maka, tidak heran memang jika FC Basel seolah menjadi ‘ikan besar di kolam yang terlalu kecil’. Seperti halnya wacana Glasgow Celtic yang ingin pindah ke Liga Inggris atau FC Porto dan Benfica pengen pindah ke Liga Spanyol, sering berhembus isu bahwa FC Basel juga akan segera berkompetisi bersama Bundesliga Jerman. Ide iseng ini sebenarnya masuk akal, mengingat letak geografis kota Basel yang tepat berbatasan dengan Jerman. Namun sampai sekarang, tampaknya isu itu sekadar guyonan belaka.

Yang menarik dari penggila sepakbola di Swiss adalah, meskipun gontok-gontokan di dalam negeri demi mendukung klub jagoan masing-masing, mereka selalu bersatu-padu mendukung siapapun wakil mereka di kompetisi Eropa. Dengan kandasnya semua wakil Swiss lain di kompetisi Eropa, otomatis FC Basel menjadi ujung tombak harapan masyarakat Swiss. Tidak heran, jika setiap FC Basel bertanding di kompetisi Eropa, teman-teman saya yang asli Swiss pasti akan memenuhi media sosial dengan sentimen ‘Swiss Pride’.

Solidaritas itu bukan hanya ditunjukkan secara personal dari diri individu para penonton bola saja. Dukungan juga menyentuh ranah formal dengan melibatkan langsung corong komunikasi klub masing-masing. Begitu FC Basel dipastikan menjejakkan kaki di semi-final Liga Europa dengan menyingkirkan Tottenham Hotspurs, semua akun Twitter klub-klub Liga Super Swiss mengucapkan selamat kepada kompatriot mereka itu. Contohnya ucapan ‘gratuliere’ akun Twitter saingan utama FCB di Liga Swiss musim ini, Grasshopper Zurich: ‘sensasional! Fantastis! Grasshopper mengucapkan selamat kepada FCB atas kesuksesan luar biasa ini!’

Situasi ini sepertinya sudah jarang kita lihat di liga-liga lain. Malah, kesuksesan atau kegagalan klub rival di Eropa sering dijadikan pemancing iri dengki klub-klub domestik saingan. Contoh paling dekat adalah pasca kekalahan Tottenham Hotspur melawan Basel, media Inggris berupaya memancing komentar dari pelatih rival Spurs, yaitu Arsene Wenger, pelatih Arsenal. Contoh lain adalah ketika para fans AC Milan malah berterima kasih kepada Bayern Muenchen setelah mempermalukan saingan mereka, Juventus, di perempat final Liga Champions. Begitu pula dengan sentimen antar-pendukung Barcelona – Real Madrid yang tidak pernah akur.

Apa yang diperlihatkan Swiss memang perlu kita jadikan pelajaran. Solidaritas mereka tunjukkan bukan hanya dalam kegembiraan seperti sukses FC Basel barusan, melainkan juga dalam situasi sulit yang melanda salah satu klub Swiss lain musim lalu, yaitu FC Sion. Tahun lalu, klub yang sekarang dibela Gennaro Gattuso ini sempat disanksi oleh UEFA akibat dituduh melakukan transfer pemain secara illegal. Dengan sigap, seluruh klub pasang badan membela rekan senegara mereka itu, dan menuntut federasi sepakbola Swiss untuk melakukan banding kepada UEFA. Banding itu gagal, tapi kebersamaan mereka patut dicontoh.

 

 

 

Young Boys’ End of European Campaign

Pertandingan terakhir penyisihan grup Liga Europa pada hari Kamis, 6 Desember 2012.

Jika Indonesia punya pawang hujan, entah jika Swiss juga punya pawang salju. Butiran-butiran salju yang sudah hampir seminggu berjatuhan di bumi Swiss kini seolah lenyap entah ke mana. Khusus malam ini, meskipun udara musim dingin masih menusuk tulang, namun lapangan rumput Stade de Suisse masih memungkinkan untuk dipakai dalam pelaksanaan pertandingan terakhir fase grup Liga Europa antara Bern Young Boys melawan Anzhi Makhachkala.

Padahal sehari sebelum pertandingan, kota Bern dan sebagian besar wilayah Swiss diserang badai salju. Temperatur pun sempat menyentuh angka -10 derajat Celcius, suhu yang termasuk sangat dingin untuk awal bulan Desember. Di konferensi pers menjelang pertandingan, baik pelatih Young Boys, Martin Rueda, maupun pelatih Anzhi, sang legenda Guus Hiddink, mengatakan bahwa mereka sudah mempersiapkan diri berlatih di lapangan bersalju. Untuk jaga-jaga jika rumput Stade de Suisse di hari H mengeras akibat embun beku.

Entah karena dihangatkan oleh ketatnya persaingan grup A Europa League, di petang hari-H pertandingan, salju pun berhenti. Bongkahan salju yang dikeruk masih terlihat di sisi-sisi lapangan, namun rumput lapangan sendiri masih memperoleh kehormatan menjadi panggung perjuangan para anak-anak muda Bern dalam mencetak sejarah di kompetisi Eropa. Memang, dalam keikutsertaan mereka di kompetisi Eropa sejak dekade 1950-an, Piala Champions sangat jauh menjadi mimpi bagi mereka. Di tahun 2010, mereka nyaris mencetak sejarah lolos untuk pertama kalinya ke pentas Liga Champions. Sayangnya, langkah mereka dihentikan Tottenham Hotspurs.

Maka, Piala Intertoto dan Piala UEFA alias Liga Europa menjadi playground mereka di panggung Eropa. Prestasi terbaik Young Boys hanyalah masuk 32 besar di musim 2010-2011 sebelum dihentikan Zenit St. Petersburg. Untuk musim 2012-2013 ini, mereka punya kesempatan untuk kembali melangkah jauh. Meskipun tergabung di grup neraka bersama Anzhi, Udinese dan raksasa Inggris, Liverpool, anak-anak kota Bern berhasil memberi perlawanan sengit. Terbukti, sampai pertandingan terakhir penyisihan grup, Young Boys bercokol di peringkat tiga dengan poin 7. Poin ini sama dengan Liverpool yang duduk di posisi dua.

Dengan kata lain, jika Di pertandingan ini Young Boys bisa mengalahkan Anzhi, dan Liverpool gagal menang melawan Udinese, anak-anak kota Bern akan melaju ke 32 besar, fase yang termasuk bergengsi bagi mereka.

Namun, lawan yang mereka hadapi pun tidak kalah ambisiusnya. Anzhi Makhachkala, si ‘orang kaya baru’ dari semenanjung Rusia. Dengan sokongan financial yang kuat, klub dari kota yang namanya jarang kita dengar ini menjelma menjadi kekuatan baru Liga Rusia. Anzhi juga diperkuat mantan pemain Barcelona dan Real Madrid, Samuel Eto’o dan Lassana Diarra, serta dimanajeri oleh otak Belanda dalam diri Guus Hiddink. Amunisi tersebut membuat klub yang baru berdiri di tahun 1991 ini sedang menggebu-gebu mengejar sejarah baru.

Maka, yang terjadi di Stade de Suisse malam itu adalah sebuah pertempuran di lapangan hijau yang dahsyat. Nuansa hidup-mati dan bergengsinya sejarah yang dikejar kedua tim membuat panas stadion nasional Swiss tersebut sehingga seolah membuat langit lupa menurunkan salju. Sayangnya, karena duel seru ini terjadi di Liga Europa, alias kasta kelas dua kompetisi antarklub Eropa, perhatian khalayak tidak terserap sepenuhnya. Apalagi penggila bola dunia baru sehari sebelumnya disuguhi sikut-sikutan Juventus dan Chelsea di Liga Champions. Alhasil, bagi penonton bola awam, laga Young Boys melawan Anzhi ini tidak lebih dari sekadar laporan berupa angka di situs-situs berita sepakbola.

Namun, bagi saya pribadi, pertandingan ini termasuk salah satu pertandingan yang paling life-changing semenjak saya menjadi penggemar sepakbola.

Penyebabnya? Karena anak-anak Young Boys bermain sepenuh hati. Mereka seolah tidak mau tahu hasil pertandingan di Stadion Friuli antara Udinese melawan Liverpool. Mereka seolah ingin menentukan sendiri nasib mereka tanpa bergantung dari hasil pertandingan lain.

Tidak ada pertandingan yang lebih pantas disaksikan daripada pemain-pemain yang bermain sepenuh hati.

Malam itu, anak-anak muda kota Bern memainkan sepakbola indah. Mereka tidak silau akan nama besar Samuel Eto’o dan Lassana Diarra. Strategi menyerang pelatih Guus Hiddink dibalas dengan strategi lebih ofensif lagi oleh pelatih Martin Rueda. Gol pemain Argentina Gonzalo Zarate memang sempat dibalas Odil Akhmedov sehingga babak pertama berakhir 1-1. Namun, di babak ke-dua, Young Boys tampil beringas. Moreno Costanzo, sang rising star tim nasional Swiss, membuat Young Boys unggul sebelum youngster asal Venezuela Alexander Gonzalez memaksa Anzhi bertekuk lutut dengan skor 3-1.

Publik Stade de Suisse pun bersorak gembira, namun berharap-harap cemas akan terjadi perubahan situasi di Stadion Friuli. Maklum, sampai jeda babak pertama, Liverpool memang masih unggul 1-0 atas tuan rumah Udinese. Sayangnya, sampai peluit akhir pertandingan dibunyikan, skor akhir tetap sama. Bern Young Boys pun tersingkir. Memang sayang, karena dengan poin yang sama dengan Liverpool dan Anzhi yang menjadi juara dan runner-up grup, mereka tetap saja tersingkir.

Meski demikian, mereka tersingkir dengan terhormat. Mereka telah menunjukkan semangat juang tinggi, sebuah perjuangan yang patut diacungi jempol. Tidak ada air mata dan kekecewaan berlebihan terlihat dari wajah-wajah para pejuang kota Bern tersebut.

Saya pun menyaksikan pertandingan itu dari tribun penonton dengan berbinar-binar. Meskipun bukan merupakan pertandingan bergengsi antarklub Eropa, namun ada perasaan lain yang muncul di hati saya setelah menyaksikan pertandingan ini. Semangat juang yang tak kenal menyerah adalah yang terpenting, kemenangan bukanlah segalanya. Para pejuang saya kali ini bernama BSC Young Boys, klub sepakbola kebanggaan kota Bern, tempat saya tinggal selama hampir dua tahun terakhir.

The final game of the Europa League group stage, Thursday, December 6, 2012.

If Indonesians have ‘pawang hujan’ (rain tamer), I wonder if the Swiss also have ‘snow tamer’. It had been almost a week of snow falling on Switzerland. In this particular evening, under the air of Europe’s bone-chilling winter, thankfully the grass of Stade de Suisse was still possible to be used for the final game of the group phase of the Europa League. This match was a dead-or-alive for Young Boys Bern, who would play the Russian side, Anzhi Makhachkala.

A day before the game, the city of Bern and most the Swiss cities were attacked by snowstorm. The temperature had touched the point of -10 degree Celsius, which is regarded as a very cold temperature for early days in December. In a press conference before the game, both team coaches, Young Boys’ Martin Rueda, as well as Anzhi’s, the legendary Guus Hiddink, said they were already preparing for the worst by having training sessions in a snowy fiel . As a precaution if the grass at the Stade de Suisse would be covered by frost.

However, perhaps the field was warmed by intense competition of the Group A Europa League, in the afternoon right on the day of the match, the snow had stopped. Dredged snowpack was still visible on the sides of the pitch, but the grass was still in normal condition. This condition was found as an advantage towards the struggle of Bern’s one and only football club, BSC Young Boys. They were on a mission. They wanted to make a new history in the European competition. The intention was understandable because looking at their participation in European competition since the 1950, the European success is always very much an unreachable dream for them. In 2010 , they narrowly succeeded in making history, breaking for the first time to the Champions League group stage. Unfortunately, they were knocked out by the English side, Tottenham Hotspurs.

Thus, the Intertoto Cup and UEFA Cup Europa League were their familiar playground on the European stages. The best achievement that Young Boys had was only breaking into the last 32 in the 2010-2011 Europa League, before knocked out by Zenit St . Petersburg. For the 2012-2013 season, they had a chance to go very far. Although placed in the group of death with Anzhi, Udinese and English giants, Liverpool , Young Boys found themselves giving their rivals quite fierce resistance. Until the final game of the group stage, Young Boys was in third position with total 7 points, The same points gained by Liverpool who sat nervously in the second position.

In other words, if in this game Young Boys could beat Anzhi Young Boys and Liverpool failed to win against Udinese , the Bernese would advance to the knock-out phase of 32  for the second time in their history. That would have been a prestigious position for them.

However, they needed to face an ambitious opponent, Anzhi Makhachkala, the ‘new rich kids on the block’ from the Russian peninsula. With strong financial backing, the club of the city with a less popular name (compared to Moskow or St. Petersburg) transformed into a new force in the Russian league. Anzhi secured the services of the former Barcelona and Real Madrid starts, Samuel Eto’o and Lassana Diarra, and managed by a Dutch think-tank, Guus Hiddink. These ammunitions are more than enough to make this young club (established in 1991) in passionate pursuit of a new history.

So , what happened at the Stade de Suisse that night was a powerful battle on the gridiron. Shades of life and death and prestigious history of being pursued by both teams made the Swiss national stadium so warmed as if the sky forgot the snow. Unfortunately, as this exciting duel occurred in the Europa League, aka the second class European club competition, the public attention was not fully absorbed. Moreover, the football enthusiasts were more attracted to the previous day Juventus and Chelsea clashes in the Champions League. Too bad, the Young Boys match against Anzhi was regarded nothing more than a report or the numbers on football news websites.

However, for me personally, this game is one of the most life-changing that I have seen.

Why so? Because that day, I witnessed the Young Boys played wholeheartedly. They seemed not  wanting to know the outcome of the match between Udinese at the Stadio Friuli against Liverpool, which was played at the same time. They seemed to want to determine their own destiny without relying on the results of the other matches. 

It is always a pleasure to see a football match where the players play wholeheartedly.

That night , the Young Boys played beautiful football . They were not afraid of big names such as Samuel Eto’o and Lassana Diarra. Both sides played attacking football. The Argentine Gonzalo Zarate’s goal for Young Boys was replied by Odil Akhmedov’s, which made first half ended with a square 1-1 result. In the second half, Young Boys were more aggressive. Moreno Costanzo , a rising star of the Swiss national team , made ​​a superior Young Boys’ goal before the youngster Alexander Gonzalez from Venezuela bended Anzhi to its knees by a score of 3-1.

The public of Stade de Suisse cheered, but at the same time hoped there will be a miracle at the Friuli stadium. Until half time, Liverpool were still winning 1-0 over the host Udinese. Unfortunately, until the final whistle was blown, the final score remained the same. Young Boys Bern were tragically eliminated. It was a bad luck, because actually they have levelled the points with Liverpool and Anzhi. However, thel lost in the goal difference, and they still found themselves knocked out of the competition.

No regret needed to be kept, since they have demonstrated a high morale thorughout the whole game, a struggle that deserves everyone’s thumbs up. No excessive tears and disappointment visible on the faces of the warriors of Bern.

I was watching from the stands with a glowing face. Although it was not even a prestigious European club matches, there are other feelings that arised inside my heart after watching this match. Relentless sportmanship is the most important, and winning is not everything. This time, the fighters are known by the name BSC Young Boys, the pride of the city where I have lived for nearly two years.

Match highlight: http://www.youtube.com/watch?v=SAI_PhVDla0

BSC Young Boys Bern Anzhi Makhachkala
Starting Lineup:
 1. Wolfli, Marco  1. Gabulov, Vladimir
 3. Ojala, Juhani  4. Samba, Christopher
 4. Nef, Alain  5. Joao Carlos
 8. Farnerud, Alexander  8. Jucilei
 9. Bobadilla, Raul  9. Eto’o, Samuel
 10. Costanzo, Moreno  13. Tagirbekov, Rasim
 14. Schneuwly, Christian  14. Shatov, Oleg
 16. Raimondi, Mario  15. Logashov, Arseniy
 19. Zarate, Gonzalo Eulogio  19. Traore, Lacina
 23. Sutter, Scott  25. Ahmedov, Odil
 29. Nuzzolo, Raphael  85. Diarra, Lassana